Wednesday, August 25, 2010

Pengertian Wakaf

DONASI LAZIS NUSNATARA
Bank BRI
No Rek: 0016-01-016807-
53-2
An. Badan Wakaf Nusantara


KONFIRMASI TRANSFER:
Ketik LAZIS Spasi NAMA LENGKAP Spasi JUMLAH DONASI
Kirim ke: 08222 67888 30


LAYANAN JEMPUT DONASI
Wilayah Kota Semarang
Telp/Sms: 08222 67888 30


LAYANAN ZAKAT, INFAQ, SHADAQAH DAN WAKAF
LAZIS NUSANTARA - Yayasan Badan Wakaf Nusantara
 -------------------------------------------------------------------------------
A.Menurut Bahasa
Perkataan waqf yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia berasal dari kata kerja bahasa Arab. وقفا - يقف- وقف yang berarti ragu-ragu, berhenti, memberhentikan, memahami, mencegah, menahan, mengaitkan, memperlihatkan, meletakkan, memperhatikan, mengabdi, dan tetap berdiri.

Menurut ‘Abdul Wahhab Khallaf, wakaf berarti menahan sesuatu baik hissi maupun maknawi. Kata wakaf itu menurut Abd al-Wahhab Khallaf juga digunakan untuk objeknya yakni dalam arti sesuatu yang ditahan. Menurut Muhammad Ibn Isma’il as-San’ani, wakaf adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak bendanya (‘ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.'
B. Menurut Istilah
Selanjutnya dikemukakan beberapa definisi wakaf menurut ulama fiqh sebagai berikut:
Pertama, definisi wakaf yang dikemukakan Mazhab Hanafi, yaitu menahan benda wakif (orang yang berwakaf) dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebaikan.


Menurut Mazhab Hanafi mewakafkan harta bukan berarti meninggalkan hak milik secara mutlak. Dengan demikian, wakif boleh saja menarik wakafnya kembali kapan saja dikehendakinya dan boleh diperjualbelikannya. Selain itu, dijelaskan pula bahwa kepemilikan harta yang diwakafkan berpindah menjadi hak ahli waris apabila waqif meninggal dunia. Namun demikian Mazhab Hanafi mengakui eksistensi harta wakaf yang tidak dapat ditarik kembali yaitu wakaf yang dilakukan dengan cara wasiat, berdasarkan keputusan hakim bahwa harta wakaf tidak boleh dan tidak dapat ditarik kembali, dan harta wakaf yang dipergunakan untuk pengembangan masjid.

Kedua, definisi wakaf yang dikemukakan Mazhab Maliki, yaitu menjadikan manfaat harta waqif, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diberikan kepada yang berhak secara berjangka waktu sesuai kehendak waqif. Memperlihatkan pendapat Mazhab Maliki disebutkan bahwa kepemilikan harta tetap pada waqif dan masa berlakuknya wakaf tidak untuk selama-lamanya kecuali untuk tertentu menurut keinginan waqif yang telah ditentukannya sendiri.

Ketiga, definisi wakaf yang dikemukakan Mazhab Syafi’i, yaitu menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang tersebut hilang kepemilikannya dari waqif, serta dimanfaatkan pada sesuatu yang dibolehkan. Definisi dari Mazhab Syafi’i yang dikemukakan di atas menampakkan ketegasan terhadap status kepemilikan harta wakaf. Apabila wakaf dinyatakan sah, maka kepemilikan pun beralih dari pemilik harta semula kepada Allah SWT. Dengan pemahaman bahwa harta yang diwakafkan menjadi milik umat, bukan lagi milik orang yang mewakafkan. Dengan demikian, putuslah hubungan orang yang mewakafkan hartanya dengan hartanya itu. Putusnya hubungan seseorang dengan hartanya sekaligus timbulnya hubungan baru seseorang dengan pahala (tsawab) dari Allah sebab ia telah berwakaf. Diharapkan keadaan putusnya dengan harta menjadikan seseorang lebih ikhlas dalam mewakafkan hartanya dan tidak perlu membayangkan lagi bahwa hartanya akan kembali kepadanya.

Sekaligus juga untuk mengajari manusia agar jangan terlalu cinta terhadap harta dan karena itu hendaklah cinta harta itu diletakkan di ujung jari dan cinta kepada Allah itu diletakkan di dalam hati. Hal ini menunjukkan cinta yang sedikit terhadap harta dan cinta sepenuhnya terhadap iman. Kedua cinta tersebut hendaknya seperti demikian dan jangan terbalik. Pendapat Mazhab Syafi’i ini juga hendaknya mendorong manusia agar lebih bersemangat dalam mencari harta karena hartanya yang telah diwakafkan tidak dapat ditarik kembali. Selain itu hendaknya ada semangat atau keinginan yang ikhlas dari seseorang agar terus berwakaf, sehingga pada saat kematian dapat dihitung jumlah wakaf yang dilakukannya semasa menjalani kehidupan. 

Keempat, definisi wakaf yang dikemukakan Mazhab Hanbali, yaitu menahan secara mutlak kebebasan pemilik harta dalam menjalankan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan seluruh hak penguasaan terhadap harta, sedangkan manfaat harta adalah untuk kebaikan dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Memperhatikan definisi yang dikemukakan Mazhab Hanbali di atas tampak bahwa apabila suatu wakaf sudah sah, berarti hilanglah kepemilikan waqif terhadap harta yang diwakafkan. Hal ini berarti sama dengan pendapat Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali ini berpendapat bahwa harta wakaf tidak boleh dijual (la yuba’), tidak boleh dihibahkan (la yuhab), tidak boleh diwariskan (la yurats) kepada siapa pun. 


Dari keseluruhan definisi wakaf yang dikemukakan di atas (menurut Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Hanbali) tampak secara jelas bahwa wakaf berarti menahan harta yang dimiliki untuk diambil manfaatnya bagi kemashlahatn umat dan Agama. Akan tetapi, keempat mazhab tersebut berbeda pandangan tentang apakah kepemilikan terhadap harta yang diwakafkan itu terputus dengan sahnya wakaf atau kepemilikan itu dapat ditarik kembali oleh waqif. Tentang apakah kepemilikan terputus atau dapat ditarik kembali hendaknya tidak mengendorkan semangat berwakaf kecuali terus berwakaf dan terus berupaya mencari rizeki yang halal dari Allah SWT. Dengan niat sebagiannya akan diwakafkan, baik wakaf benda tidak bergerak ataupun wakaf benda bergerak dengan tujuan mencari ridha Allah SWT.

Selain definisi yang terdapat menurut fikih klasik, khusus di Negara kita Indonesia ini terdapat rumusan wakaf sebagaimana terdapat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 1977; ”Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau Badan Hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Sementara dalam perkembangan terakhir di Indonesia, selain seperti yang terdapat dalam PP. No. 28 Tahun 1977, persoalan wakaf telah diatur dalam PP.No.28 Tahun 1977, persoalan wakaf telah diatur dalam pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI) definisi wakaf tidak lagi dikhususkan pada tanah milik sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) di atas. KHI menyebutkan dalam buku II tentang Hukum perwakafan dinyatakan;
“ Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok atau Badan Hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan Ibadah atau keperluan Umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”. 


Kelihatannya antara batasan yang terdapat dalam PP. No. 28 Tahun 1977 dan KHI terdapat dua perbedaan yang penting yaitu; pertama dalam PP No. 28 Tahun 1977 dikhususkan tanah milik sedangkan KHI umum sifatnya tidak mengkhususkan terhadap benda tertentu asal ia bersifat kekal, tahan lama dan melembagakannya buat selama-lamanya. Kedua, perbedaan redaksionalnya. Saja. Namun, bila dianalisa KHI merupakan hasil revisi terhadap apa yang telah dirumuskan oleh PP. No. 28 Tahun 1977 pada waktu dahulu. Sedangkan menurut Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan bahwa:” Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan Ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut Syari’ah .”

Memperhatikan kepada batasan wakaf yang telah dikemukakan ulama-ulama fiqh, pada prinsipnya tidak terjadi perbedaan yang prinsip. Berbeda dalam menentukan unsur-unsur yang harus dipenuhi.Yang terjadi perbedaan, apakah harta yang diwakafkan itu masih berada dalam hak kepemilikan si wakif atau terlepas kepada yang menerima? Tetapi, sebagaimana yang telah dirumuskan ulama-ulama di Indonesia lebih memilih pendapat yang menyatakan bahwa harta yang telah diwakafkan itu menjadi lepas dari pemilik semula menjadi milik Allah SWT. Atau umat Islam.

Unknown

Author & Editor

Yayasan Badan Wakaf Nusantara

0 comments:

Post a Comment