Monday, September 6, 2010

Masyarakat tidak bermental miskin

Oleh : Lukman Wibowo*

SEHARI setelah insiden "zakat maut" di Pasuruan, SBY selaku kepala pemerintahan, turut menghaturkan belasungkawa. Presiden meminta agar pelakunya diproses secara hukum, dan berharap kejadian itu tidak terulang lagi di waktu mendatang.

Aparat hukum tentu saja dengan sigap dapat menindak pelakunya, dan menjaga agar kejadian itu tak terulang kembali di Pasuruan. Namun masalahnya, insiden yang menewaskan 21 orang tersebut, adalah sekadar efek kecil dari dahsyatnya kemiskinan struktural yang terjadi di negeri ini.

Jadi, jika masalah pokoknya adalah kemiskinan secara luas (sementara tragedi Pasuruan hanya suatu letupan), maka apakah pemerintah dapat segera menangkap sang "pelaku" yang menyebabkan pemiskinan, serta menjamin agar "kejadian" kemiskinan tak terjadi lagi?
Babak berikutnya, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, mengatakan bahwa orang-orang yang mengantre zakat di tempat tersebut, tidak semuanya berasal dari golongan miskin, melainkan terdapat orang-orang yang bermental miskin (MetroTV, 17/09).

Tentu kita amat prihatin mendengar penyataan-penyataan seperti itu. Barangkali, sebelum masalah itu ditudingkan kepada pemerintah, buruburu pemerintah membuat "pledoi" dan mencari "bumper" pelaku untuk langsung disalahkan. Lalu, seperti biasanya, masalah kemudian dianggap selesai. Tidak bermental miskin Benarkah, masyarakat kita adalah masyarakat yang bermental miskin, seperti yang dituduhkan beberapa kalangan? Tidak. Masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat bermental miskin. Ini dapat kita klarifikasi melalui pembuktian beberapa hal.

Pertama, boleh dikata Indonesia adalah satu-satunya negeri yang memiliki banyak pasar yang aktif beroperasi 24 jam. Bandingkan dengan negara produktif sekaliber Jepang atau Cina. Memang, di negara-negara lain, pusat-pusat keramaian (seperti night club, hiburan, show, dsb) selalu hidup sepanjang malam; namun di sana, nyaris sama sekali tak ada pasar yang buka antara pukul 00.00 - 03.00 dini hari.

Sebaliknya, di Indonesia pada jamjam seperti itu, terdapat jutaan orang yang sedang giat bekerja. Tengoklah di pasar-pasar, pabrik, maupun di sejumlah tempat produksi. (Misalnya di Kota Semarang saja, sedikitnya ada 8 pasar tradisional yang bertransaksi full-time sehari semalam).

Siang-malam bekerja. Ini satu bukti bahwa masyarakat kita, tidaklah berkarakter pemalas, dan pemimpi sambil menunggu keajaiban-meminjam syair lagu Koes Plus "tongkat kayu dan batu jadi tanaman" atau berubahnya "lautan menjadi kolam susu". Di tengah sikap ora ngaya dan sahajanya, Indonesia adalah bangsa pekerja keras.

Kedua, pemberian subsidi kepada rakyat adalah hal yang lumrah dilakukan oleh banyak negara, terlebih bagi "negara kembang-kempis" semacam Indonesia. Pengalokasian subsidi atau bantuan, tidak akan memanjakan mental penerimanya, sepanjang bantuan tersebut berpola fleksibel; penyesuaian pola konsumtif atau pola produktif.

Ketika masyarakat meminta subsidi, apakah mereka pantas disebut bermental miskin? Belum tentu. Sebab besar-kecilnya subsidi akan membentuk pola tersendiri.

Bila bantuan dana yang diberikan sangat kecil, dana tersebut sulit untuk bisa digunakan menjadi dana produktif. Misalnya, dana BLT per orang yang cuma bernominal Rp 100.000/bulan, rasanya tidak mungkin dapat dijadikan modal usaha (pola produktif) bagi seorang individu miskin. Pasalnya, subsidi uang sekecil itu, ibaratnya hanya cukup untuk membeli "sesuap nasi" saja. Warga miskin (baca: tak bermodal) selayaknya memperoleh bantuan yang jauh lebih besar sebagai modal membangun kemandirian ekonominya.

Jika sudah diberi bantuan besar, namun ia tetap saja tidak mau/mampu bangkit (berpola konsumtif), barulah pantas ia disebut sebagai orang yang bermental miskin. Tentu bagi orang semacam ini, patut diberi "tindakan khusus".

Jadi, agar terbangun pola yang produktif, jumlah bantuan harus dinaikkan. Sebaliknya, bila besaran subsidi BLT hanya senilai yang disalurkan seperti saat ini, tampaknya itu sekadar berguna buat "menyambung nafas"; tak dapat memandirikan derajat ekonominya.

Nilai guna BLT sekarang, belum bisa dijadikan alat yang sanggup mengukur produktif atau tidaknya rakyat miskin, sehingga ukuran itu belum pantas untuk menjustifikasi kemiskinan mental masyarakat kita.

Ketiga, benar pepatah yang berbunyi "beri kail jangan ikannya". Namun analoginya, kalau seseorang sedang kelaparan sementara ia berada di padang tandus, bagaimana mungkin kita tega memberinya kail. Belum sempat ia mencapai sungai untuk memancing, ia bakal keburu mati duluan. Seharusnya: berikanlah orang itu "ikan", lalu setelah ia kuat berjalan, tunjukkan di mana "sungainya", baru modali ia dengan "kail" agar bisa menghidupi dirinya secara mandiri. Artinya, pepatah tersebut mesti digunakan sesuai konteks.

Berikanlah masyarakat miskin bantuan yang lebih besar, setelah itu ciptakan komitmen ekonomi antara masyarakat dan negara secara berkeadilan. Percayalah-karena pada faktanya, di masa-masa sulit sekalipunmasyarakat kita memiliki ketahanan ekonomi yang tangguh.

Keempat, memang tak dapat dipungkiri, jika dalam masyarakat kita masih ada ditemui sejumlah "pengemis sehat". Mungkin sesekali hal ini bisa dijadikan alasan bahwa ada sebagian masyarakat kita yang memang bermental miskin. Namun bagaimanapun kondisi tersebut tak bisa dijadikan parameter seluruhnya. Lagipula, masalah seperti ini, bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terdapat di negeri semakmur Amerika atau Eropa sekalipun.

Segelintir orang yang memang benar-benar bermental miskin, dapat kita bina maupun "format ulang" agar menjadi komunitas yang produktif, atau minimal, mereka tidak menyusahkan orang lain.

Kelima, di negara yang kaya dengan potensi alamnya ini, justeru jumlah penduduk miskinnya cukup besar. Di samping itu, kesenjangan ekonomi pun terjadi amat mencolok mata.

Masyarakat Indonesia berhak menuntut dikembalikannya berbagai sumber daya alam yang sudah dieksploitasi besar-besaran oleh segelintir elit selama ini. Keuntungannya mesti dibagi secara proporsional. Menuntut hak milik bukanlah "mengemis", melainkan masyarakat telah sadar dan melek ekonomi-politik.

Kita mempunyai sumber minyak bumi maupun berbagai energi alternatif lain, namun ironisnya masyarakat malah kesulitan memperoleh bahan bakar dengan harga yang terjangkau.

Kita memiliki banyak potensi, tapi tragisnya rakyat kita justeru banyak yang kesusahan. Untuk itu, dibutuhkan suatu kebijakan yang mampu membuka barrier struktural ekonomi-politik yang tersumbat oleh kepentingan kelompok tertentu. Masyarakat berhak menolak monopoli dan ketidakadilan struktural tersebut.

Jadi, upaya masyarakat dalam menuntut hak-hak dan kewajiban ekonominya, layak diapreasi secara positif; bukan dijungkirbalikan dan dikesankan bermental miskin.

Lukman Wibowo
Dosen dan Peneliti AKP Widya
Buana Semarang

Unknown

Author & Editor

Yayasan Badan Wakaf Nusantara

0 comments:

Post a Comment