Tuesday, October 12, 2010

MENATA PARADIGMA KADER, MERAMPUNGKAN KONSEP DIRI, MEWUJUDKAN MASYARAKAT SPIRITUAL

Oleh : Sofa Sragen

TAHU Dan MAU
Ada dua tipologi manusia yang disebut dalam ummul kitab, yakni orang yang tahu tapi tidak mau (al-Maghdlub/Dimurkai), dan yang mau tapi tidak tahu (al-Dholim/Tersesat). Kedua kelompok yang diluar sirot al-mustaqim tersebut secara historis dipersonifikasikan dalam dua golongan umat agama samawi, Yahudi sebagai maghdlub dan Nasrani sebagai dholim. Yahudi yang sebenarnya adalah citra umat yang paham akan simbol dan makna kebenaran, tapi tidak mau menurutinya bahkan menawarkan paradigma permisif memperturutkan nafs-nya. Disisi lain Nasrani yang mempunyai mau akan kebenaran tetapi tidak punya tahu akan paradigma kebenarannya. Nasrani adalah kaum yang mempunyai iradah dan azzam akan ke-Ilahan tetapi nir-Tauhid.
Tahu dan Mau adalah problem dasar kehidupan manusia. Tahu adalah persoalan enlightenment, tertatanya secara gamblang pola pikir seseorang, wawasan atau paradigma yang syumul dan konsisten. Problem dalam mencandra realita nyatalah bukan persoalan yang sederhana. Sekian ribu kader bahkan struktur pimpinan yang sebenarnya jujur dan ikhlas dalam menjalankan roda perkaderan musti terpuruk karena terlalu polos dalam artian kurang mengerti akan sesuatu dibalik citra yang terbangun dalam informasi. Terlalu banyak informasi yang datang tidak menyatakan realita sesungguhnya. Disana disatu sisi ada distorsi, disisi lain ada penggelembungan. Ada info yang tidak komplet, ada info yang kecil tapi dibesarkan.
Kasus-kasus seperti ramai kemudian berhenti para aktivis dalam mengangkat kasus Century berbarengan dengan ramai dan berhentinya elit dalam menggorengnya, lebih cenderungnya kajian dan pelatihan dengan tema politik dibanding tema lain, hebohnya beasiswa luar negeri di milling list, bingungnya kader paska kuliah, bingung untuk menikah dan sebagainya adalah sekedar contoh kecil untuk memproyeksi masalah besar dalam tubuh HMI, yakni belum tertatanya aqidah (paradigma).
Menurut A. Munir Mulkan ada dua tonggak dari penataan aqidah, yakni apa definisi seseorang tentang apa itu hidup, dan apa definisi dia tentang apa itu prestasi? Bila seseorang miss dalam mendefinisikan tentang hidup dan prestasi hidup, maka akan miss pula kehidupannya. Contoh kecil, ketika LPJ pimpinan dianggap berhasil bila: sering masuk media, dapat undangan skala internasional, rangkap jabat di lembaga yang beken, dan tetek bengek material lain. Jika seperti ini terjadi maka relevanlah jika disimpulkan ada yang salah pada kader dalam mendefinisikan prestasi, yang bisa jadi diawali dari kesalahan dalam mendefinisikan hidupnya, sedemikian sehingga carut marutlah aqidahnya.
Bila “tahu” telah dalam genggaman, problem berikutnya adalah adakah kehendak untuk menerapkannya dalam kehidupannya? Kita sering mendengar kabar tentang menggadaikan idealisme. Secara pengetahuan seseorang bisa saja mengerti bahwa keputusan hidupnya saat itu keliru tetapi tetap diambil demi mengejar materi. Persoalan materi memang menjadi kendala bagi perkembangan spiritual seorang abdi. Nama, jabatan, gelar, tingkat pendidikan formal, fasilitas hidup, menumpuknya kriteria pasangan hidup adalah beberapa contoh materi yang menggelayuti. Lawan dari aras itu adalah sikap hidup zuhud, sikap yang memandang rendah keduniaan (dimensi ruang), karena ada yang lebih penting dalam hidup ini bagi seorang abdi yakni perjalanan spiritualnya (dimensi waktu).
Perjalan spiritual amat tergantung seberapa kualifaid keputusan-keputusan hidupnya, yakni tidak sekedar menyelamatkan kehidupan material dia tetapi juga demi kelangsungan kehidupan pihak lain. Ini yang sudah mulai jarang kita jumpai, masing-masing bergerak individual secara soliter, sedemikian sehingga dari sini kita bisa melihat apakah seseorang sebagai prokapitalisme atau bukan. Kapitalisme tidak sekedar dilihat dari pikiran atau lembaga seseorang, bahkan seseorang di lembaga aliran agama yang paling puritan sekalipun bisa jadi sangat kapitalis manakala ia tidak pernah membawa pihak lain dalam keputusan-keputusan hidupnya.
Di Jawa ada kekayaan lokal (local genus) yang terlahir dari rakyat jelata atau dari kaum bangsawan yang menyingkir atau tersingkir yang tidak berkehendak kembali ke inner power yakni jargon “ora patheken” (tidak akan kudisan walau tidak dapat fasilitas), suatu semangat yang mungkin sarkas tetapi mempunyai semangat untuk tidak kebendaan dan tidak dengki akan kepemilikan pihak lain.
Belajar dari Thomas A. Edison, momen kreatif tidak hanya ditentukan oleh tepatnya pemilihan dan pemasangan elemen yang presisi dalam membuat karya. Tidak hanya sekedar “tahu”,  mempunyai bangunan pengetahuan yang utuh dan teruji, bahwa karya yang unggul hanya bisa ditemukan dalam dua hal yang berbeda (kutub negatif dan kutub positif) yang dipadukan melalui filamen yakni diri kita sehingga tidak terjadi konsleting. Tetapi setelah filamen masuk dalam bohlam dibutuhkan penghampaan udara. Dibutuhkan “mau” untuk mengosongkan hawa nafsu demi menghadirkan cahaya pencerahan.

PERAN Dan FUNGSI
Salah satu keluarbiasaan al-Quran adalah konsistensi konseptualnya. Salah satunya adalah hal pasangan. Ketika Tuhan berfirman bahwa tiap sesuatu dicipta berpasang-pasangan, maka beterbarlah berbagai konsep yang berpasangan pula. Salah satunya tentang peran dan fungsi. Tiap individu hadir dalam dua potensi dalam dirinya yakni sebagai Abdullah (abdi) dan Khalifatullah (wakil). Dalam konteks ini sebagai abdi adalah peran, sesuatu yang diberi Tuhan pada tiap makhluk. Dan wakil adalah persoalan fungsi, dimana ketika masyarakat menghendaki dan memberi kepercayaan kepada dia untuk memenej struktur sosial. Disinilah letak al-akhlak al-karimah, dimana diri terletak antara Tuhan dan sesama manusia. Ketika menghadap Tuhan, diri menyampaikan segala keluh kesah sesamanya dan ketika menghadap sesamanya ia menyampaikan pesan-pesan Tuhan. Ini dekat dengan definisi F. Schuon tentang Islam, yakni pertemuan manusia apa adanya dengan Tuhan apa adanya.
Sebagai abdullah manusia mempunyai baju tawakal, sedang sebagai khalifatullah ia mempunyai baju takwa.  Tawakal adalah kualitas penghambaan seorang manusia dalam memasrahkan kediriannya pada Sang Khalik, sedang takwa adalah kualitas pelayanan seorang manusia dalam melayani sesamanya. Ini adalah dua sisi mata uang Islam yang tak terpisahkan. Seorang kader akan sangat terasa harus memakai dua baju ini, walau perjalan spiritual berikutnya persoalan fungsi bisa jadi belum ataupun tidak dipercayakan padanya oleh sesamanya, akan tetapi persoalan peran tidak akan mungkin seorang abdi akan mampu menghindar. Jadi, dalam Islam persoalan fungsi bukanlah sesuatu yang menggundahkan, bukan sesuatu yang mutlak. Disinilah kader banyak jatuh, ketika masih aktif dia apa-apa tetapi ketika paska dia bukan apa-apa menurut kacamata sosiologis masyarakat yang aqidahnya belum tertata, karena di dalam masyarakat yang pardigmanya belum tertata, apa-apa atau bukan apa-apa masih dilihat dari harta, jabatan, tingkat pendidikan, nasab, atau jumlah pengikut.
Seorang kader yang dahulu amat berani menantang realita diluar tubuhnya, pada titik selanjutnya amat mungkin tersungkur ketika melihat realita dirinya sendiri. Kader yang semacam inilah sebenarnya yang belum selesai adalah konsep kediriannya.

KONSEP PERUBAHAN
Semestinya umat Islam hadir sebagai leading of change, karena ia telah mengetahui  hakekat perubahan. Hakekat perubahan dalam Islam adalah dimulai dari diri sendiri (idba’ bi nafsi), maka konsep uswah menjadi sentral dalam Islam. Ini secara apik, reasonable dan acceptable diterangkan oleh Arnold Toynbee tentang creative minority. Bahwa tiap perubahan yang diinginkan pasti dilakoni terlebih dahulu oleh kelompok minoritas yang begitu telaten dan kreatif dalam menjalani hidup yang menyimpang dari kelompok mayoritas.
Minoritas kreatif hadir sebagai tawaran pola pikir dan pola hidup yang segar tanpa harus terpisah dari sesamanya. Walau kali waktu ia butuh menarik diri dari masyarakat ketika hantaman dari masyarakat terlalu besar melebihi kapasitasnya saat itu. Menarik diri untuk menguatkan kembali kediriannya untuk kemudian kembali lagi ke kancah masyarakat dengan lebih elastis dan mumpuni dalam menawarkan aqidah/paradigmanya. Oleh A. Toynbee hal ini ia sebut withdrawal (menarik diri) and return (kembali). Ini mungkin dekat dengan maksud Ali Syariati tentang Rousyan Fikr yang menurut Yudi Latif ditarjim Kelompok Yang Menyimpang. Bila kelompok yang menyimpang ini paradigmanya mulai dianut oleh mayoritas masyarakat maka lahirlah apa yang Toynbee namakan Creative Majority.
Lewat pendekatan Thomas Khun tentang shifting paradigm, kita bisa memahami bahwa Revolusi Prancis bisa berhasil karena memang masyarakatnya telah bergeser aqidahnya dari teokrasi ke demokrasi. Jadi, bila ingin merubah suatu masyarakat, rubahlah terlebih dahulu paradigmanya. Dan bila ingin paradigma suatu masyarakat berubah maka paradigma yang baru harus terlebih dahulu dihayati oleh individu atau kelompok yang menginginkan perubahan itu.
Khun memandang, paradigma yang status quo suatu saat akan mengalami anomali yang pada titik selanjutnya akan mengalami krisis. Dalam krisis inilah paradigma baru menemukan momentumnya untuk lebih gamblang ditawarjabarkan kepada khalayak, sekaligus ujian puncak akan konsistensi bagi minoritas kreatif dalam menggawangi aqidahnya, karena paska krisis pasti melahirkan paradigma baru yang akan dianut mayoritas masyarakat.

MASYARAKAT SPIRITUAL
Islam dalam struktur sosial lebih khusus negara akan mewujud sebagai Kebenaran dan Keadilan. Disitulah ketika Imam Ali ra memimpin, beliau menyampaikan maklumat: “Aku akan menegakkan Kebenaran dan Keadilan, tetapi bila aku disuruh memilih, aku akan lebih memilih menegakkan kebenaran!”
Seeorang yang telah rampung konsep dirinya ketika memimpin sebuah intitusi sosial tidak akan gagap untuk lebih mengedepankan kebenaran. Tetapi dunia saat ini sedang bergerak kekiri, lebih menuntut keadilan diatas penegakan kebenaran, tidak lepas juga orang-orang mendapat gelar ulama. Ini mungkin tidak lepas dari keterpurukan umat Islam, sehingga penuntutan keadilan yang disini berbanding lurus dengan welfare seakan menjadi segala-galanya. Contoh yang paling gamblang adalah kasus Palestina, masing-masing negara Islam –mungkin kecuali Iran- sangat kalem dalam mensikapinya karena khawatir pengaruh Zionis akan merusak kestabilan negaranya.
Masyarakat spiritual bukanlah masyarakat klenik, spiritual bukanlah tentang yoga, meditasi ataupun ning. Juga bukan asumsi kaum New Age dengan jargonnya spiritual yes, relegius no, spiritualitas yes tetapi intitusi-institusi agama no. Tentu bagi Islam, relegius adalah tempat berangkat bagi spiritualitas. Memang tiap pengikut agama pasti menyisakan penyimpangan-penyimpangan, tetapi dengan tanpa melepas baju relegiusitasnya, penyimpangan akan lebih mudah  dikembalikan pada elan awalnya. Tetapi gerakan spiritualitas yang tanpa relegiusitas bila para pengikutnya mengalami penyimpangan, mau kembali kemana ia?
Masyarakat spiritual adalah masyarakat yang sadar terlibat. Selama ini kita lebih dididik akan Tuhan yang ghaib, padahal dalam hadits Qudsi Allah berfirman bila ingin menemukan perjumpaan dengan-Nya, kasih makanlah orang yang kelaparan, kasih obatlah orang papa yang sakit, bantulah orang butuh pertolongan. Hadits ini tidak bisa sekedar dimaknai program karikatif, karena konsep Islam adalah konsep problem solving, poinnya adalah keterlibatan. Jadi, bagaimana caranya sesama bisa keluar dari masalahnya, tidak sekedar terhibur tetapi tetap dalam kubang keterpurukan.
Wallahu a’lam.

sragen, sh070710

Unknown

Author & Editor

Yayasan Badan Wakaf Nusantara

0 comments:

Post a Comment