Monday, November 1, 2010

Mengkaji Kembali Kebijakan Diskunto

Oleh. Agus Munif
(Direktur Eksekutif Badan Wakaf Nusantara)

Dalam sekala makro banyak elemen dari teori ekonomi untuk menjaga stabilitas moneter (ekuilibrium moneter). Salah satunya adalah kebijakan diskunto, yaitu suatu kebijakan dengan cara menaikan suku bunga, untuk menahan akan peredaran uang (money demand) dalam masyarakat. Dalam teorinya dengan adanya kebijakan tersebut, maka masyarakat akan berbondong-bondong untuk menabung, disebabkan adanya bunga tinggi. Namun apakah demikian? Apakah tingkat suku bunga yang tinggi,1 dapat mendorong Seving yang tinggi pula?
Maka dalam makalah yang cukup singkat ini, akan kita kaji ulang atas kebijakan diskunto. Sebab market tidak selalu normal, sehingga kebijakan tersebut seakan menjadi paradok dalam kebijakan ekonomi secara makro.
Dalam mengatur sistem moneter suatu negara penetapan atas kebijakan diskunto sebagai pengendali dari beredarnya uang cukup populer di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kebijkan ini merupakan kebijakan instan. Pada awalnya diasumsikan, bahwa dengan menaikan tingkat suku bunga maka masyarakat akan berbondong-bondong melakukan seving. Namun dari data statistik ternyata kenyataan tersebut terbalik. Artinya tingkat seving malah mengecil atau menurun.2 Dengan menurunnya saving berarti maksimalisasi dana dari masyarakat berkurang, dan laju money demand tetap tinggi.
Melesetnya asumsi-asumsi yang melahirkan kebijakan tersebut merupakan bentuk tidak normalnya market, khususnya suasana moneter secara makro. Dalam kajian Kaynesian tabungan merupakan fungsi dari pendapatan, yaitu S=f(Y). Dalam teori ini dapat dilihat bahwa variabel suku bunga tidak masuk dalam fungsi tabunan. Jadi suku bunga tidak cukup signifikan untuk meningkatkan seving. Justru jika seving tidak diikuti investasi, maka akan tersedia besaran dana yang menganggur dan ini mendorong untuk melakukan kegiatan transaksi finansial yang tidak mempunyai ikatan dengan aktivitas ekonomi riil, tapi berpengaruh terhadap money demand for speculation.
Dengan melesetnya asumsi-asumsi awal diatas, maka tampaklah muka paradok dari kebijakan diskunto. Sebab justru suku bunga merupakan faktor penentu terjadinya inflasi (infaitor). Kebijakan suku bunga, apalagi kalau tinggi akan menggiring seluruh harga barang bahkan jasa untuk menaikan harganya. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari kuwajiban debitur untuk membayar cicilan dan bunganya. Pada akhirnya kewajiban tadi dibebankan kepada seluruh biaya produksi maupun jasa. Sehingga hasil produksi maupun jasa bernilai jual tinggi, dan ini dalam pasar tidak diinginkan oleh pelaku pasar sebab harga menjadi tidak kompetitif lagi.
Kebijakan para produsen dan mereka yang bergerak dalam bidang jasa untuk menaikan harga (untuk menutup ongkos produksi maupun jasa), secara tidak langsung akan memperkecil nilai mata uang. Dengan kata lain, kebijakan tersebut menggambarkan betapa nilai mata uang menjadi mengecil. Akumulasi dari persoalan ini, memaksa masyarakat harus mengeluarkan alat tukar (uang) sebanding dengan nilai kehidupan konsumtifnya. Disinilah secara perlahan dan pasti akan trgambar sosok inflasi yang sulit terkendali. Jika hal ini dibiarkan, implikasinya adalah pengrogotan kondisi ekonomi secara menyeluruh (makro maupun mikro).
Persoalan suku bunga justru berdampaknegatif terhadap iklim dunia usaha dan angkatan kerja. Perlu diketahui, bahwa suku bunga (apalagi jika tinggi) akan memastikan tingkat suku bunga pinjaman. Hal ini akan sangat mencolok sebab hasil produksi dan jasa akan kesulitan bersaing. Disisi lain dengan tingginya suku bunga akan menjadikan keraguan pada dunia usaha untuk mencari kridit pada bank. Landasan utamanya antara lain, keraguan nasabah untuk mengembalikan cicilan dan bunganya. Keraguan nasabah yang demikian memaksa dunia usaha untuk merasionalisasi ekonomi (dunia usaha), dan para pekerja.
Sementara dari pandangan sosial, kebijakan pemerlakuan suku bunga dan menaikannya akan berdampak pada individu tertentu, dan menggiringnya malas menginvetasikan dananya untuk kegiatan usaha riil. Dalam dirinya berpendirian bahwa tanpa bekerja atau usaha yang susah payah, pasti sudahmendapat dana. Bagi potret individu seperti ini dana yang dinikmatinya akanmenggiringnya untuk senantiasa brhitung atas segenap pengeluaran. Disinilah tanda kekikiran mulai melekat. Jika ini dibiarkan untuk waktu yang lama, maka kekikiran menjadi karakter individu tersebut. Hal ini harus dicatat bahwa karesteritik menjadi faktordeterminan bagi ketidak pedulian seseorang. @ macro economic.



1 Bunga tinggi biasanya diasumsikan di atas 10%.
2 Lihat Jornal of Economic. 1997, hlm. 194. jugaa lihat IMF Gavernment Statistic. 1998, hlm. 8-9.

Unknown

Author & Editor

Yayasan Badan Wakaf Nusantara

0 comments:

Post a Comment