“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
(QS.
Al Baqarah: 183)
Alhamdulillah kita masih diberikan nikmat dengan
kesempatan bertemunya bulan yang mulia ini. Bulan dimana kalam agung
diturunkan, bulan diwajibkannya berpuasa bagi seorang muslim yang mampu. Dan
salah satu point dalam menjalankan puasa ramadhan adalah derajat takwa. Namun
hingga saat ini definisi tentang takwa itu sendiri masih banyak yang
bmemperdebatkan, apakah ia lahir sebagai wujud kesalehan individu ataukah
sosial? Satu wujud variable yang mewarnai berbagai nilai yang ada di dunia ini.
Dalam ayat lain tepatnya pada surat Ath Thalaq ayat 2-3, takwa disebutkan
berkait dengan tawakkal.
Secara bagus Muhammad Zuhri
mengatakan bahwa titik temu adalah kesamaan anggapan tentang nilai-nilai yang
terbentang di dalam cakrawala kehidupan yang menjadi sasaran operasional setiap
individu manusia. Penguasaan terhadapnya berwujud orientasi skeluar lewat
pengabdian sosial, menawarkan hasil kreatifitas atau bereksplorasi keruangan
dengan menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi serta pandangan
hidup yang bersifat obyektif.
Berkiprah di dalam dimensi
tersebut membutuhkan aset yag berupa intelektual, bakat, keahlian dan
pengetahuan tentang kausalitas alam dan sosial, serta ambisi yang kuat sebagai
dinamis-motifnya. Tujuannya untuk mendapat pengakuan dan kepercayaan dari
masyarakat manusia agar dapat berperan serta didalam menangani kepentingan
bersama di dalam berbagai bidang kehidupan. Golongan yang berekspansi ke
luar lewat dimensi nilai ini disebut golongan muttaqin oleh Al-Qur'an. "Dan
siapa taqwa kepada Allah, Allah akan menjadikan baginya jalan keluar, dan
akan memberinya rizki dan arah yang tak dapat diduga" (QS. Ath-Thalaq:3).
Bedanya dengan anak
sang waktu (mutawakkilin) yang
mendapatkan 'peran' yang tak tergantikan dari Tuhan, putera
ruang (mutaqin) ini akan
memperoleh 'fungsi' dari masyarakat yang dapat digantikan oleh pihak
lain. Bila anak sang waktu dianugerahi ilmu Allah yang tak bisa dicerna akal,
putera ruang akan dikaruniai ilmu pengetahuan obyektif dari masyakat dan
alamnya. Ketika anak sang waktu menemukan titik-beda dirinya dengan
yang lain sebagai hasil dari menggarap diri, putera ruang menemukan titik
temu dirinya dengan semua individu lewat menggarap alam dan lingkungannya.
Dan ketika seorang mutawakkilin
berada dalam martabat wahdah (unity), seorang mutaqin berada dalam
martabat jam'iyah (universality).
Begitulah tawakkal dan taqwa merupakan dua konsep
orang beriman di dalam menemukan dunia-diri dan dunia-milik sebagai medan
mencari ridha Allah. Kegagalan seseorang di dalam menangani dunia-milik
disebabkan kurang akuratnya di dalam menggarap dunia-diri. Maka untuk mengatasi
semua masalah yang berupa bencana, stagnasi, ataupun dilematika kehidupan bukan
dengan aktivitas keluar, melainkan dengan kembali membenahi dunia diri atau
sisi dalam dari realita kehidupan kita. "Sesungguhnya
Allah tidak merubah keadaan yang ada dalam suatu kaum sehingga mereka merubah
apa yang ada di dalam dirinya." (Ar-Ra'du: 30).
Dan lahirlah Sufi-sufi
Muhammadis yang berorientasi di dalam dua semesta sekaligus dengan konsep Taqwa
dan Tawakkal demi mencari ridlaNya di dunia dan di akhirat, dan tutuplah layar
kerahiban yang lari dari tanggung jawab sosial untuk mencari kepuasan spiritual
semata.
Kerahiban merupakan
penyimpangan dari perolehan ketawakalan demi mencapai kesucian pribadi semata,
sehingga tertutup baginya untuk menyentuh semesta ketakwaan (pengabdian
sosial). "Dan mereka mengada-adakan
kerahiban yang tidak Kami perintahkan kepada mereka." (Al-Hadid: 27)
Insan Kamil
Di dalam dimensi tawakkal
dimana setiap indivu muslim telah menemukan titik beda dengan semua individu
lain, agama Islam bahkan menemukan titik temu dengan semua agama yang ada.
Sebaliknya di dalam dimensi taqwa ketika individu seorang muslim telah
menemukan titik temu dengan semua individu manusia, Islam berada di dalam titik
beda dengan agama lain, karena keluasan syariatnya yang mencakup urusan
duniawi. Hal itu membuat Islam sering diberi predikat sebagai agama materialis
oleh pihak lain.
Namun betapa pun akhirnya
harus diakui bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang berhasil memadukan
dua dimensi yang biasa dipertentangkan dengan konsep wujud berpasangan (zaujaini). Yaitu dunia-diri yang dapat
diatasi oleh Sayidina Isa AS dengan sifat Quddusnya
dan dunia-milik yang berhasil diatasi oleh Sayidina Musa AS dengan
teknologi-nya (tongkat).
Dunia diri dan dunia milik
merupakan masalah paling dasar di dalam kehidupan manusia, karena keduanya
sulit untuk dipadukan di dalam proses aktual tanpa yang satu membantai yang
lain. Dampaknya di dalam sejarah beragama pernah memecah ummat Islam menjadi
paham Jabariyah dan Qadariyah, golongan Hakekat dan Syariat serta Kaum Sufi dan
Fuqaha'.
Hal itu tidak akan bisa
terjadi bila kita sadar bahwa di dalam Islam tidak ada konsep kepemilikan.
Semua fasilitas yang disebut dunia milik telah kita terima sebagai amanah atau
titipan Tuhan yang harus kita sampaikan kepada yang berhak, yaitu kehidupan.
(Al-Ahzab: 72); "Sesungguhnya Allah
memerintahkan kepada kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak."
(An-Nisa': 58)
Selanjutnya untuk
memotivasi diri dengan taqwa dan tawakkal di dalam setiap proses aktual,
Al-Qur'an mengajarkan teknis dasar yang tersirat di dalam kalimat doa: "Tuhan, masukkanlah aku (ke dalam
dunia diri) dengan benar (tawakkal) dan keluarkanlah aku (ke medan amanat)
dengan benar (taqwa) dan jadikan bagiku kekuatan penolong dari hadiratMu." (Al
Isra: 80).
Bila target tersebut
terwujud, kita akan menemukan kenyataan seorang insan kamil (mukmin
yang sempurna) yaitu seorang yang bermartabat wahdah (unity)
sekaligus bermartabat jam'iah (universality). Kini kita berada
di dalam kurun zaman dimana ketaqwaan di-slogan-kan dan ketawakkalan dicurigai
akan menghambat perkembangan ummat manusia.
Setiap orang berusaha
merebut fungsi yang tinggi tanpa peduli apakah dirinya sanggup berperan dengan
benar atau tidak. Padahal kita semua tahu bahwa fungsi yang tinggi tanpa kesanggupan
memerankan diri yang kualifaid akan menimbulkan huru-hara dan bencana besar
bagi ummat manusia. Sedang pemeran yang baik tanpa fungsi yang dipercayakan
kepadanya oleh lingkungan tetap akan dapat memproduk nilai buat
sesamanya.
Mungkin karena kesadaran
akan hal ini tasawuf mulai dilirik oleh manusia modern yang telah cemas
menyaksikan 'peran aneh' yang dilakukan oleh ummat manusia di panggung
sandiwara dunia. Kalau hal itu benar, janji tentang turunnya missi
Sayidina Isa AS (tasawwuf) untuk membenahi dan menyempurnakan kualitas pribadi
kaum Muslimin di akhir zaman telah tiba. Inilah zaman spiritual. (Alfin
Hidayat/BWNews)
0 comments:
Post a Comment