Wednesday, August 25, 2010

Keluarga Besar Kenduri Hani Kembali

Oleh: Moh Sri Handoko
(Dewan Penasehat Badan Wakaf Nusantara)

Bermula dari keinginan mulia hendak terus menjalin tali silaturahim, menyambung potensi-potensi yang berserakan, dan tidak berhenti untuk terus mengkaji ayat-ayat Tuhan yang menghampar (kauniyah); dalam diri kita (nafsiyah/fi’liyah); dan ayat-ayat tertulis (qauliyah/Al-Qur’an), hal ini tertera dalam Surat Fushilat :53; tanggal 20 Mei 2007 Kenduri Hani dilahirkan.
*
Kegilaan Kenduri Hani
Ada dua harapan yang hinggap di pundak para eks HMI MPO---selanjutnya disebut HMI. Pertama, persoalan budaya silaturahim.


Silaturahim yang berarti menyambung kasih sayang ( ingat Asma Allah Ar-Rahim), sering latah diterjemahkan sebagai kegiatan berkunjung atau bertamu ke handai tolan, kerabat. Mestinya silaturahim disini tidak sekadar bertamu dan selesai pulang, namun sebagai sebuah komunikasi yang bertujuan ingin mengetahui kesehatan kawannya, bagaimana keadaan ekonominya, bagaimana keamanannya, sehingga apabila mereka dalam keadaan yang perlu dibantu, pelaku silaturahmi ikhlas mengulurkan kemampuannya.
Budaya saling menjenguk keadaan, kesehatan dan situasi batin sesama saudara pasca struktur HMI dinilai masih minim. Paling banter, kita ngumpul setahun sekali pas ada acara Halal Bi Halal HMI Cabang Semarang. Padahal dalam fiqih kita ada tuntunan Shalat Jum’at, yang kurang lebih maknanya adalah bahwa dalam seminggu sekali seyogianya kita berkumpul untuk introspeksi bersama. Namun demikian pelaksanaan Shalat Jum’at ini ruangnya masih sangat terbatas. Hanya lingkup RT atau yang lebih luas lagi hingga tingkat kecamatan. Shalat Jum’at belum bisa memadai untuk menjawab persoalan miskinnya kegiatan kumpul-kumpul antar kita yang jelas domisilinya sudah antar kecamatan bahkan kabupaten. Disinilah pentingnya silaturahmi, yakni menyambung rahimiah Allah. Dan inilah KENDURI.

Kedua, masih tersisa mimpi di alam kesadaran kita tentang pentingnya majlis ilmu. Sebagai majlis ilmu yang didedikasikan guna melanjutkan dan memperdalam wawasan keberagamaan. Kita tahu bahwa memperdalam wawasan keberagamaan tidak ada batasnya sepanjang hayat. Mengkaji ayat-ayat Tuhan yang tercipta berupa alam struktur tidak pernah ada habis-habisnya, lebih-lebih mengkaji kedalaman lorong diri atau bahkan mengkaji ayat-ayat terucap (kitab suci) yang tersaji dalam bentuk simbol-simbol. Dan simbol-simbol tersebut hanya diketahui oleh orang-orang yang berilmu (QS. 29:43). Disinilah pentingnya kita memperluas cakrawala berpikir, guna menjawab tantangan kitab suci, yakni memahami simbol-simbol yang tertera dalam teks dan menangkap makna hakiki yang ada dibaliknya yang kemudian akan mengantar kita pada kesadaran ketuhanan (makrifat). Itulah HANI (Bahasa Jawa kuno yang artinya makrifat).

Dari dua harapan tersebut, yakni kita akan terus berusaha menjaga semangat silaturahmi, semangat kumpul-kumpul (kenduri), dan dalam setiap acara ngumpul diusahakan tidak ada perbincangan tanpa makna, perbincangan ngalor-ngidul tanpa ujung, melainkan saling curah ide untuk mengurai segala problem yang menghimpit, persoalan hidup yang menghambat kesadaran ketuhanan (hani). Dari sini lahir sebuah “lembaga jalanan” tanpa legal, pelindung, apalagi donatur, itulah kenduri hani. Kenduri Hani dihadirkan sebagai wadah yang menghimpun orang-orang gila, para petualang filsafat yang tidak terakomodir oleh lembaga resmi, kaum idealis yang miskin dan tanpa otoritas, para skeptis tanpa heroisme, kaum resah, kaum satria, kaum wirausahawan yang masih kesulitan memamerkan produknya, para kuli tinta otodidak, dan kaum tenaga kerja kasar maupun halus, atau bahkan sekedar mencari teman ngobrol ‘curhat’.

Inilah kegilaan Kenduri Hani, kegilaan menghimpun “orang-orang gila” dalam satu wadah. Kegilaan menghadirkan forum yang menghimpun para petualang hidup yang mengantongi klaim legal dari lembaga pendidikan formal ataupun tanpa klaim-klaim legal formal. Meski demikian, kalau kita buka khasanah sejarah, lahirnya karya-karya dan peradaban-peradaban besar seringkali dimulai dari “kegilaan”, yang tak mudah dimengerti oleh masyarakat di jamannya. Kehadiran wadah yang hendak mengumpulkan energi para aktor kehidupan yang masih berserakan tersebut dalam hikmah orang Jawa disebut Kenduri Hani yang artinya nglumpukake balung pisah (rekonstruksi sistematis kekuatan yang tercerai-berai).

Upaya menemukan kembali kedirian, sebagai usaha mengenal Tuhan (hani) mesti diusahakan dengan berkumpulnya kekuatan ide dan tenaga (kenduri) telah dimulai pada tanggal 20 Mei 2007 di Kecamatan Ungaran, Semarang hingga rentang waktu tak terbatas. (PRD)

Unknown

Author & Editor

Yayasan Badan Wakaf Nusantara

0 comments:

Post a Comment